“…kamu gak pernah disekolahin apa?”. Itulah kata-kata yang dikeluarkan oleh seorang pembawa acara dalam sebuah program acara di sebuah telavisi swasta. Dia menggunakan kalimat itu untuk memisahkan dua orang bintang tamu yang saling baku hantam di acara tersebut. Ya…kalimat-kalimat yang bernada demikian memang acapkali dipakai untuk menyebut atau menyindir orang yang melanggar sopan santun, etika atau menyelesaikan suatu permasalahan dengan emosi bahkan kekerasan, seperti yang dilakukan orang di program acara tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah apa iya orang-orang tersebut memang tidak pernah sekolah? Jawabannya tentu saja seringkali tidak.
Sekolah, yang mungkin menurut sang pembawa acara atau orang yang mengatakan idiom tersebut adalah tempat yang seharusnya menghasilkan orang-orang yang mempunyai “kulitas moral”, sehingga mereka akhirnya mengatakan idiom-idiom tersebut. Menurut mereka orang-orang yang bersekolah yang didik oleh institusi formal, lebih terjaga moralnya dibanding orang-orang yang tidak pernah mengecap “bangku sekolah”. Di sekolah di harapkan sanggup mendidik anak didiknya untuk lebih menjaga perilaku agar tidak melanggar noram dan etika yang ada. Tapi apa iya? Entahlah, saya pun tidak bisa menjawabnya secara pasti.
Tapi yang jelas idiom tersebut masih kerap muncul dan diberikan kepada orang-orang yang pernah atau sedang mengecap bangku sekolah. Rada aneh memang, menurut saya. Ya itulah, yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia. Sebagian orang menganggap bahwa pendidikan di Indonesia sekarang, kalau boleh dikatakan hanya mengacu pada nilai semata. Dan semakin berkurang intensitasnya terhadap pendidikan moral anak didiknya.
Pendidikan moral dan agama semakin tersingkir. Keadaan ini digambarkan juga lewat sebuah film yang berangkat dari novel buatan seorang penulis Indonesia (Laskar Pelangi.red). pendidikan moral dan agama juga dijadikan pelangkap semata. Aspek-aspek tersebut yang sebenarnya sangat diperlukan untuk membentuk manusia yang lebih “bermoral”. Yang nantinya juga diharapkan membentuk pemimpin negara yang lebih “bermoral” pula, tak ada lagi korupsi, kolusi, suap, pemaksaan kehendak dan bentuk penyelewengan lainnya.
Salah satu contoh bagaimana nilai memang mendominasi pendidikan kita, adalah bagaimana bentuk sistem ujian nasional di sekolah menengah yang mamakai standar nilai dalam kelulusannya. Menurut sebagian orang, sistem tersebut justru malah memberikan dampak negatif seperti mencontek, perjokian, bocornya soal dan lain-lain. Selain dalam ujian nasional, sistem tersebut pun masuk juga dalam kegiatan sekolah sehari-harinya.
Dibalik itu sebenarnya ada maksud yang ingin dicapai. Adalah bagaimana menciptakan orang-orang yang nantinya dapat menjawab tantangan global. Sehingga dapat bersaing dengan SDM yang berasal dari luar negeri. Dan hal tersebut secara umum dapat memacu semangat belajar peserta didiknya.
Tapi jujur saja saya pun tidak bisa menunjukkan mana yang lebih baik mana yang lebih buruk dan mana yang seharusnya lebih diprioritaskan antara pendidikan berbasis moral ataupun berbasis nilai. Yang jelas mungkin memang sebaiknya kita menilik kembali apa makna dan fungsi pandidikan bagi bangsa kita. Sehingga nantinya kita bisa mencari dan menentukan sistem yang kita laksanakan untuk pendidikan kita. Karena pendidikan adalah tiang pancang budaya dan fondasi utama untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Kesadaran akan arti penting pendidikan menentukan kualitas kesejahteraan warganya (Nasruddin Anshory).
-jony np-
Minggu, 10 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar